Tuesday 2 June 2009

Nestapa Rohingya Kian Dilupa

Image
PBB dan ASEAN Memiliki Peran dan Tanggungjawab




Oleh Heru Susetyo*


Nyaris setengah tahun sudah manusia perahu Rohingya terusir dari Myanmar sejak November 2008, namun tanda-tanda nasib mereka akan membaik belum juga terlihat. ASEAN Summit (Pertemuan Puncak ASEAN) yang berlangsung di Hua Hin, Thailand, pada Februari 2009 tidak memunculkan resolusi yang menguntungkan Rohingya.

Sebaliknya, yang hadir adalah pernyataan aneh dari Menteri Luar Negeri Myanmar:

“SPDC is willing to accept the return of refugees from Myanmar if they are listed as Bengali Muslim minorities but not if they are Rohingyas” (Pemerintah akan menerima kembalinya pengungsi ke Myanmar jika mereka telah terdaftar sebagai Minoritas Muslim Bengali, namun tidak apabila mereka terdaftar sebagai Rohingya).

Artinya, eksistensi Muslim Rohingya tidak diakui sebagai salah satu etnis yang telah lama eksis dan hidup di Myanmar. Pertanyaannya, apabila negeri tempat mereka tinggal selama ini saja tidak mau menerima mereka, lalu negara mana lagi yang mau menerima mereka?

Pertemuan regional lanjutan untuk Rohingya dan isu-isu lain terkait perdagangan dan penyelundupan manusia (human trafficking dan human smuggling) kemudian diadakan di Bali (Bali Process medio April 2009) Namun, kebijakan khusus untuk penanganan nasib pengungsi dan pencari suaka Rohingya juga tidak terlalu konkrit.

Sekitar 1.200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar pada bulan Desember 2008 menuju Thailand. Datang dengan cara yang tidak umum, otoritas Thailand segera menampik mereka.

Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan sebagian kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu, mereka kemudian terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan kini ditampung sementara di Aceh (Sabang dan Idi Rayeuk).

Daily Yomiuri (11/2-09) menyebutkan bahwa para nelayan Aceh menyelamatkan 220 ‘manusia perahu’ Rohingya pada 2 Februari 2009, namun 22 diantaranya telah tewas karena kehausan dan kelaparan.

Harian New York Times (18 April 2009) menyebutkan bahwa pada November – Desember 2008, 200 – 400 Rohingya terdampar di Aceh setelah terusir dari Burma-Thailand-Malaysia dan saat ini ada 391 warga Rohingya di Idi Rayeuk dan Sabang.

Sementara itu 1.200 warga Rohingya lainnya masih terdampar di lautan, 300 telah tenggelam, tewas, ataupun kelaparan, dan sebagian lainnya mengungsi ke negara-negara tetangga (Bangladesh, India, dll).

Kondisi penampungan pengungsi di Aceh turut disorot, karena, kendati Indonesia termasuk bersikap bijak dengan mau menampung sementara para pencari suaka tersebut, namun kondisi penampungannya jauh daripada ideal. Atau dalam bahasa pengungsi Rohingya, kelebihan dari penampungan sementara di Indonesia adalah mereka bebas melaksanakan ibadah selaku Muslim.

Manusia yang Sengaja Dilupakan

Bahasa paling tepat untuk etnis Rohingya adalah orang-orang yang sengaja dilupakan dan juga manusia tanpa kewarganegaraan (forgotten people and stateless person).

Status etnis Rohingya di Myanmar saat ini adalah stateless persons alias orang tanpa kewargenegaraan. Rezim militer SPDC yang kini berkuasa di Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai satu dari delapan etnis utama di Burma (Burman, Shan, Kachin, Karen, Kayah, Mon, Chin, dan Rakhaing) ataupun sebagai bagian dari 135 sub etnis yang diakui di Myanmar.

Secara kebetulan, 135 sub etnis tersebut mayoritas adalah keturunan dari ras Mongolia, sementara Rohingya berasal dari Ras Aria yang memiliki kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa dengan penduduk Bangladesh.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan Myanmar (1982 Burma citizenship law), ada tiga cara menjadi warga negara Myanmar, masing-masing : (1) Full citizenship; (2) Associate citizenship; (3) Naturalized citizenship. Tragisnya, mayoritas etnis Rohingya tak termasuk dalam ketiga-nya.

Selain itu, dalam sejarah keberadaannya di Myanmar, bahkan jauh sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948, mereka kerap menjadi objek penyiksaan (persecution) dan kebencian. Maka, amat beralasan bagi mereka untuk kemudian mencari suaka ke negeri lain.

Pada tahun 1978, 200.000 etnis Rohingya terusir ke Bangladesh karena operasi militer tentara Myanmar (Nagamin operation). Dampak lain dari operasi tersebut adalah pembunuhan massal, pemerkosaan, penghancuran masjid, penyiksaan atas dasar agama (persecution), dan kerja paksa.

Penduduk Rohingnya di Northern Rakhine harus mendapatkan izin untuk meninggalkan desa-nya, bahkan untuk bepergian ke desa tetangga mereka harus membayar surat izin (travelling permit). Izin tak berlaku untuk etnis lain di Rakhine.

Jejak Rohingya di Myanmar

Istilah ‘Rohingya’ merujuk pada populasi Muslim di Northern Rakhine yang memiliki karakteristik budaya dan dialek yang khas. Di samping Rohingya, ada juga komunitas Muslim di Rakhine State yang lebih suka disebut sebagai ‘Arakanese Muslims’.

Etnis Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine (sebelumnya bernama Arakan) di Myanmar bagian barat. Konsentrasi mereka ada di lima kota di sisi utara Rakhine masing-masing adalah di Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab, Sandway, Tongo, Shokepro, Rashong Island dan Kyauktaw.

Dari sisi geografis,demografis, dan bahasa, mereka memiliki kedekatan dengan Bangladesh (Bengal) yang memang dikenal sebagai negeri Muslim

Jejak Muslim Rohingya di Myanmar dapat diurut sejak abad pertengahan. Pada tahun 1430 – 1638, semua penguasa Arakan adalah keturunan dari Raja Muslim Solaiman Shah yang mendapatkan tahta dari Raja Bengal Sultan Jalaluddin Mohammad Shah. Arakan sendiri adalah negara merdeka sampai dengan tahun 1784.

Pada tahun 1942 terjadi kerusuhan anti Muslim di Arakan Selatan, sehingga Arakan Muslim terusir ke utara (Northern Rakhine) dan Arakan Selatan dikuasai oleh Maghs (warga Rakhine Buddhist). .

Etnis Rohingya sendiri mayoritas adalah Muslim dan memiliki jejak asal usul dari Arab, Moors, Turks, Pesian, Moghul, Patthan dan Bengali. Mereka berbicara dalam dialek Bengali, hampir sama dengan penduduk Chittagong di Bangladesh (Dialek Bengali Rohingya adalah campuran dari Urdu, Hindi, Arab, Bama dan Inggris).

Pada masa lalu ada dua juta Muslim Rohingya yang tinggal di Arakan state. Pada saat ini, berdasarkan data dari Rohingya Information Center di Kuala Lumpur, ada sekitar 500.000 Rohingya di Saudi Arabia, 200.000 di Pakistan, 200.000 di Bangladesh, 50.000 di Uni Emirat Arab, dan 15.000 jiwa di Malaysia.


Pengakuan Terhadap Rohingya pada Masa Silam

Adalah suatu kebohongan apabila rezim militer SPDC yang kini berkuasa mengatakan bahwa etnis Rohingya bukan bagian dari penduduk Myanmar. Karena, pemerintahan-pemerintahan Myanmar sebelumnya telah nyata-nyata mengakui eksistensi warga Rohingya.

Pada bulan April 1960 PM U Nu mengizinkan penggunaan bahasa Rohingya pada Burma Broadcasting Service. Pada tahun 1948 – 1962, Muslim Rohingya dapat berpartisipasi dalam pemilu.

Etnis Rohingya ada yang diangkat menjadi Sekretaris Parlemen dan juga Menteri Kesehatan. Pada pemilu tahun 1990, empat etnis Rohingya dipilih sebagai anggota parlemen di Maung Daw dan Buthi Daung.

Di samping itu, Presiden Pertama Burma Sao Shwe Teik pernah mengatakan : “Muslims of Arakan certainly belong to one of indigenous races of Burma. In fact, there is no pure indigenous race in Burma, if they do not belong to indigenous races of Burma, we also can not be taken as indigenous races of Burma.”

Dalam pasal 3 Nu – Attlee Treaty tanggal 17 Oktober 1947 dan dalam Section 11 9i0 (ii) dan (iii) dari Konstitusi Union of Burma 1947/ 4 Januari 1948, Rohingya adalah warga negara Burma.

Akhirnya, pada “position paper on persecution of Muslims in Arakan state” tertanggal 24 September 1992 yang dikirimkan ke PBB, pemerintah Burma menyatakan bahwa : (1) Muslim Rohingya telah tinggal di Arakan sejak berabad-abad silam; (2) Muslim Rohingya adalah warga negara Burma; (3) Muslim Rohingya memiliki hak-hak dan keistimewaan yang sama dengan semua warga negara Burma.


Saatnya Mengakhiri Nestapa Rohingya

Badan internasional seperti PBB ataupun regional seperti ASEAN dan negara-negara terkait (Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia) memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

Jalan terbaik sementara ini adalah menampung mereka untuk sementara sambil menentukan proses selanjutnya, apakah akan memberi suaka langsung di negeri tempat penampungan sementara, meneruskan ke negeri lain, ataukah mengembalikan ke negeri asal (Myanmar) ketika kondisinya memang sudah memungkinkan.

Dalam proses ini, Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR- United Nations High Commission for Refugees) harus dilibatkan. Karena, UNHCR memiliki mandat untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan memfasilitasi mereka untuk menyelesaikan masalah pengungsiannya.

Mandat ini tak terbatas pada ‘pengungsi’ yang dimaksud pada Konvensi Status Pengungsi 1951 saja, melainkan juga untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons), orang-orang yang kembali pulang dari pengungsiannya (returnees) dan juga, pada kasus-kasus tertentu, adalah para pengungsi dalam negeri (internally displaced persons).

PBB dan ASEAN harus bersikap tegas terhadap Myanmar untuk mengambil peran dan tanggung jawab utama atas penanganan pengungsi Rohingya. Karena, sikap berlepas tangan, tak mau tahu, tak mengakui, dan menolak memberikan kewarganegaraan untuk penduduknya sendiri adalah bagian dari pelanggaran HAM yang maha dahsyat.


* Mahasiswa Program Doktor

Komentar :

ada 0 komentar ke “Nestapa Rohingya Kian Dilupa”

Post a Comment

Silakan memberi komentar di sini, No SARA buat komentarnya

Advertisement

Archive

 

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Fresh Template by NdyTeeN.