Tuesday, 25 August 2009

Mujahid yang Berjuang Fi Sabilillah atas nama Al Haq, karena Mujahid Sejati bukan menebar Terror [part1]

"QS Annisaa ayat 95
" Tidaklah sama antara mu'min yang duduk ( yang tidak turut berperang
) yang tidak mempunyai uzur dengan orang yang berjihad dijalan
Allah.... "

Jihad dan mati syahid karenanya adalah suatu hal yang paling diimpikan para Sahabat Rasul sehingga miris bagi orang yang menafikkan jihad, bahkan Rasul dalam hadits riwayat bukhari berukata "Amal apkah yg pahalanya setara dgn pahala seorang mujahid?" Beliau bersabda, "Kalian tidak akan bisa mengerjakannya"..."Amal apakah itu?".."Kalian tidak akan bisa mengerjakannya"... dan kemudian beliau bersabda, "Apakah kalian mampu mengerjakan, yaitu kalian masuk masjid dan kalian sholat tanpa henti, atau berpuasa tanpa berbuka?" Orang-orang itu berkata, "Siapakah orang yang mampu mengerjakan hal itu?" Beliau bersabda, "Itulah pahala seorang mujahid, permisahan mujahid yg berjihad di jalan Allah adalah serupa dengan orang yang terus berpuasa tanpa berbuka dan serupa dengan orang yang terus mengerjakan shalat dan qiyamullail dan puasa hingga sang mujahid kembali pulang" (HR.Al-Bukhari: Kitabul Imarah:3490)

emikian pula jihad, yang merupakan istilah syar'i, sebagaimana shalat dan shiyam, sebagaimana pula zakat dan haji. semua istilah tersebut mempunyai pengertian yang diatur oleh syariah, sehingga tidak di perbolehkan bagi semua orang untuk mempermainkan pengertian syar'i tersebut. Al jihad maknanya adalah " Berperang di jalan Allah, jihad adalah perang".

Sedangkan perkataan sebagian orang yang nyeleneh mereka mengatakan :

" Kita telah pulang dari menunaikan jihad yang kecil menuju jihad yang besar".

Demikianlah orang-orang itu menggambarkan jihad di medan peperangan. Tidak tahukah mereka bahwa di dalam peperangan, bom-bom meledak diatas kepala, pesawat tempur musuh terbang menyambar dengan memuntahkan peluru dari langit ??!! sedangkan Rasulullah bersabda :

" Cukuplah kilatan pedang yang menyambar diatas kepadanya (mujahid)sebagai ujian dan fitnah".

Inikah yang oleh sebagian orang dinyatakan sebagai jihad kecil ?! ... sedangkan bagi mereka, jihad yang terbesar adalah menepuk debu ! lalu kalian tidur di dalam rumah kalian ! kalian santai - santai dalam keadaan sehat wal'afiat ...!! masuk akalkah pengertian yang mereka sampaikan !! apakah pengertian yang disampaikan orang - orang itu masuk akal, apabila mereka menyebutkan bahwa bertempur di medan perang adalah jihad kecil, sedangkan orang2 yang tidur santai dan hidup nyaman di dalam rumah disebut sebagai mengerjakan jihad besar.

Demi Allah, pernyataan itu tidak adil ! Demi Allah mereka adalah orang yang pendusta ! Hadist tersebut adalah hadist Maudhu' ( PALSU ) yang tidak ada sumbernya, hadist ini di dustakan oleh Rasulullah SAW dan tidak pula di ungkapkan oleh salah seorang sahabat. akan tetapi ungkapan ini di ucapkan oleh lisan salah seorang tabi'in yang bernama IBRAHIM bin ABI 'AILAH. dan perkataan tersebut berlebih - lebihan.

Bagaimana mungkin, jihad di medan perang disebut jihad kecil sedangkan yang lain justru merupakan jihad akbat !!?? .... Kita kembali kepada pengertian yang di ungkapkan oleh istilah syar'i, " Aljihad maknanya adalah perang " Demikianlah, makna dan pengertian jihad di beri batasan. selaras dengan firman Allah SWT, " Wahai orang - orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu". (QS. Ash-shaff 10-11)

apakah makna jihad dalam ayat itu dimaksud adalah berpuasa ?..... Apakah maknanya melaksanakan shalat ?... ( Dan kalian berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu ). Apakah maknanya melaksanakan qiyamulail ? ! ... Sungguh ketika Rabb yang Maha Mulia mengatakan ( Kalian berjihad ) .... makna yang dimaksud adalah berperang !!

Oleh Karena itu, makna jihad haruslah disampaikan dengan jelas dan sempurna, serta tidak ada sesuatu pun yang mengeruhkannya !

Jihad fi sabilillah merupakan puncak ajaran Islam karena merupakan pengorbanan tertinggi seorang hamba Allah dalm menegakkan Kalimatullah. Sehingga umat Islam yang melaksanakannya akan mendapatkan kemuliaan dan kejayaan di dunia dan surga Allah di akhirat.

Sebaliknya mereka yang meninggalkan jihad dan tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk berjihad akan hina dan menderita di dunia serta mendapatkan siksa Allah di neraka. Jihad adalah satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk meraih kejayaan Islam, merdeka dari penjajahan dan meraih kembali tanah yang hilang.

Ketika umat Islam lalai terhadap kewajiban, maka Allah akan menghinakan mereka. Rasulullah saw. bersabda,” Jika kalian telah berdagang dengan ‘Inah (sistem riba’), mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk beternak), rela bercocok tanam dan meninggalkan jihad, pasti Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu hingga kalian kembali ke ajaran agama kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Imam Syahid Hasan al-Banna berkata: Sesungguhnya umat yang mengetahui bagaimana cara membuat kematian, dan mengetahui bagaimana cara meraih kematian yang mulia, Allah pasti memberikan kepada mereka kehidupan mulia di dunia dan keni’matan yang kekal di akhirat. Wahn (kelemahan) yang menghinakan kita tidak lain karena penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka persiapkanlah jiwa kalian untuk amal yang besar, dan semangatlah menjemput kematian niscaya diberi kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian adalah kepastian dan tidak datang kecuali satu kali. Jika engkau menjadikannya di jalan Allah, maka hal itu merupakan keuntungan dunia dan ganjaran akhirat.

Definisi Jihad

Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan secara istilah syari’ah berarti seorang muslim mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya untuk memperjuangkan dan meneggakan Islam demi mencapai ridha Allah SWT. Oleh karena itu kata-kata jihad selalu diiringi dengan fi sabilillah untuk menunjukkan bahwa jihad yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran Islam agar mendapat keridhaan Allah SWT.

Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah; suatu kewajiban sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah saw.,” Siapa yang mati, sedangkan ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.

Adapun urutan yang paling bawah dari jihad adalah ingkar hati, dan yang paling tinggi perang mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena, tangan dan berkata benar di hadapan penguasa tiran.

Dakwah tidak akan hidup kecuali dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan cakupannya yang luas, maka jihad merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya. Firman Allah,” Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj 78).

Dengan demikian anda sebagai aktifis dakwah tahu akan hakikat doktrin ‘ Jihad adalah Jalan Kami’

Tujuan Jihad

Jihad fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di muka bumi dan dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari ajaran Islam dan terbebas dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi sebaliknya untuk melindungi kaum yang lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan tidak semata-mata membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena Islam menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk menghentikan kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).

Macam-Macam Jihad

Jihad fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:

1. Jihad dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran Islam kepada manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Termasuk dalam jihad dengan lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi mungkar dan aktifitas politik yang bertujuan menegakkan kalimat Allah.
2. Jihad dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya bagi perjuangan dan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan keluarga mujahid yang ditinggal berjihad.
3. Jihad dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat Islam. Jihad ini biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan jihad yang dominan disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di jalan Allah.

Keutamaan Jihad dan Mati Syahid

Beberapa ayat Alquran memberikan keutamaan tentang berjihad. Di antaranya, (QS an-Nisaa’ 95-96)(QS as-Shaff 10-13).

Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal apakah yang paling utama?” Rasul SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat berkata:”Lalu apa?” Rasul SAW menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”, Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar berjihad di jalan Allah lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada satupun orang yang sudah masuk surga ingin kembali ke dunia dan segala sesuatu yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia ingin kembali ke dunia, kemudian terbunuh 10 kali karena melihat keutamaan syuhada.” (Muttafaqun ‘alaihi)

”Bagi orang yang mati syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan:
1. Diampuni dosanya dari mulai tetesan darah pertama.
2. Mengetahui tempatnya di surga.
3. Dihiasi dengan perhiasan keimanan.
4. Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari.
5. Dijauhkan dari siksa kubur dan dibebaskan dari ketakutan di hari Kiamat.
6. Diletakkan pada kepalanya mahkota kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari dunia seisinya.
7. Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi)

Hukum Jihad Fi Sabilillah

Hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. Allah SWT berfirman:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).

Jihad berubah menjadi Fardhu ‘Ain jika:

1. Muslim yang telah mukallaf sudah memasuki medan perang, maka baginya fardhu ‘ain berjihad dan tidak boleh lari.

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).

2. Musuh sudah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di daerah atau wilayah tersebut .

”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123)

3. Jika pemimpin memerintahkan muslim yang mukallaf untuk berperang, maka baginya merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Rasulullah SAW bersabda:

”Tidak ada hijrah setelah futuh Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR Bukhari)

Kata-Kata Jihad

Khubaib bin Adi ra. berkata ketika disiksa oleh musuhnya, “Aku tidak peduli, asalkan aku terbunuh dalam keadaan Islam. Dimana saja aku dibunuh, aku akan kembali kepada Allah. Kuserahkan kepada Allah kapan saja Ia berkehendak. Setiap potongan tubuhku akan diberkatinya”.

Al-Khansa ra. berpesan kepada 4 anaknya mengantarkan mereka untuk jihad, “Wahai anak-anakku ! Kalian tidak pernah berkhianat pada ayah kalian. Demi Allah, kalian berasal dari satu keturunan. Kalianlah orang yang ada dalam hatiku. Jika kalian menuju ke medan perang, jadilah kalian pahlawan. Berperanglah ! Jangan kembali. Aku membesarkan kalian untuk hari ini”.

Abdullah bin Mubarak berkata pada saudaranya Fudail bin Iyadh yang sedang asyik ibadah di tahan suci,” Wahai ahli ibadah di dua tahan Haram, jika engkau melihat kami, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau hanya bermain-main dalam ibadah. Barangsiapa membasahi pipinya dengan air mata. Maka, leher kami basah dengan darah”.

sedangkan hukum jihad sendiri

Hukum Jihad itu terbagi dua : Fardu A'in dan Fardu Kifayah.
Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.

A. Fardu Kifayah :

Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka.
Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.

"Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95)

Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.

Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.

"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17)

"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91)

"Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah 92)

"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93)

Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan."

Imam Syafi'i mengatakan : "Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun."

Al-Qurtubi mengatakan: "Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dienullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah."

Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : "Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun."

Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a'in.

Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, "Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad - dengan makna yang lebih umum - sebagai fardu a'in, maka beliau mengatakan : "Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a'in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya."

Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a'in, antara lain :

"Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan." (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)

"Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan." Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : "Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan "sebelum hari qiamat." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)

Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad.

Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.

Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a'in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan. Dibawah ini akah dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a'in.

B. Fardu A'in

Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:

1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.

Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:

"Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)


Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah"

Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam."

2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.

Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan, maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". (QS Al-Anfal 15)

"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfal 16)

Rasulullah saw bersabda : "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, "Beliau saw ditanya: "Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?" Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).

3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.

Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi fardu ain bagi penghuni wilayah tst. Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.

Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : "Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.


Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan : "...Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.

Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya.

Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Dan juga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.

Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) mengatakan : "Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan.

Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan :"Jihad menjadi fardu 'ain didalam 3 keadaan:
a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan.
b. Apabila orang kafir telah masuk (menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka.
c. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajib berangkat.

C. Hukum Jihad pada masa sekarang.

Dari keterangan diatas kita memperoleh gambaran bahwa hukum jihad berubah ubah sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi.
Timbul pertanyaan : Apakah hukum jihad pada masa sekarang ini? Apakah fardu 'ain atau fardu kifayah?

Ketetapan jumhur ulama bahwa hukum jihad itu fardu kifayah adalah fatwa mereka bagi kaum muslimin dalam keadaan khilafah Islamiyyah masih tegak, itupun dengan menetapkan pula adanya kondisi yang boleh menyebabkan berubahnya hukum jihad dari fardu kifayah menjadi fardu 'ain.

Sekarang keadaanya lain, bumi sudah berubah, situasi dan kondisipun telah berubah dengan lenyapnya kekuasaan Islam, dan khilafah Islamiyah. Keadaan seperti ini mewajibkan kita untuk meninjau kembali pokok masalahnya.

Abu Ibrahim Al-Misri menyatakan : "Kita mulai dengan ta'rif dua istilah ini

Fardu 'Ain : Yaitu kewajiban yang zatiah dibebankan kepada setiap muslim.
Fardu Kifayah : Yaitu perintah yang ditujukan kepada kaum muslimin secara umum, jika sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka berdosalah semua kaum muslimin.

Bertitik tolak dari fardu kifayah, membuahkan pertanyaan kepada kita tetapi jawabannya kita tangguhkan : Apakah perintah dalam urusan kita dan apakah tujuan jihad kita? Pertanyaan tidak sempurna melainkan ditambah dengan pertanyaan lainnya : Apakah tujuan Jihad itu akan tercapai dengan hanya melibatkan sebagian kaum muslimin atau tidak?...Sesungguhnya fatwa yang ringkas dan jalan pintas bagi menetapkan hukum mengenai masalah ini, saya katakan:

Dengan mentakhrij pada usul fuqaha dan syarat-syarat yang ditetapkan mereka, orang muslim itu tidak dapat menyatakan melainkan bahwa telah terjadi Ijma para Fuqaha umat Islam bahwasannya Jihad itu adalah fardu 'ain pada zaman kita sekarang ini. Berbagai keadaan yang menetapkan jihad menjadi fardu 'ain telah terkumpul pada zaman ini, bahkan telah berlipat ganda dengan sesuatu yang tidak terlintas dalam benak salah seorang mereka sekiranya ia tidak meninggalkan kesan di tengah-tengah penyimpangan dari hukum ini.

Imam Qurtubi bekata : "Setiap orang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuhnya, dan ia mengetahui bahwa musuhnya itu akan dapat mencapai mereka sementara ia pun memungkinkan untuk menolong mereka, maka ia harus keluar bersama mereka (menghadapi musuh tsb)

Imam Ibnu Taimiyyah berkata : "Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menolak musuh itu menjadi wajib atas semua orang yang menjadi sasaran musuh dan atas orang-orang yang tidak dijadikan sasaran mereka.

Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan - hampir saja jiwa ini binasa karena kesedihan terhadap mereka
"Siapakah diantara kita yang tidak dituju dan tidak dijadikan sasaran makar (rencana) para pembuat makar. Belahan bumi yang manakah sekarang ini yang selamat dari permainan para pembuat bencana? Hamparan tanah yang manakah sekarang ini yang diatasnya panji Khilafah dan Kekuatan Islam ditinggikan? Jika engkau tidak tahu maka tanyalah bumi ini, ia akan menjawab sambil mengadukan kepada Rabbnya kezhaliman para Thogut dan sikap masa bodo' nya kaum muslimin sesama mereka sendiri...maka adakah benar perbantahan orang-orang yang bermujadalah bahwa jihad itu fardu kifayah, bukan fardu 'ain?"

Kami ingin keluar dariapda perselisihan dan mengakhiri perbantahan, maka kami katakan : Apakah tujuan yang dituntut di dalam kewajiban Jihad atas pertimbangan bahwa sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka kewajiban itu gugur dari yang lain? Serahkan jawabannya pada Fuqaha kita...

Al-Kasani berkata : "Yang mewajibkan jihad ialah : Dakwah kepada Islam, meninggikan Ad-Dien yang hak, dan menolak kejahatan orang-orang kafir dan pemaksaan (paksaan) mereka."

Imam Ibnul Hammam mengatakan : "Sesungguhnya jihad itu diwajibkan hanyalah untuk meninggikan Dienullah dan menolak kejahatan manusia. Maka jika tujuan itu berhasil dengan dilaksanakannya oleh sebagian kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, sama halnya seperti sholat jenazah dan menjawab salam."

Kami memohon ampun kepada Allah karena kami tidak patut mendahului Allah dan Rasul-Nya. sesungguhnya Allah telah menerangkan jauh sebelum ini dan selanjutnya telah dirinci (dijelaskan) pula oleh Rasulullah saw mengenai tujuan jihad yang dimaksud ini.

"Perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.." (QS Al-Anfal 39)

"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani)

"Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali sebab haknya (mereka melakukan pelanggaran); sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Adakah Fitnah telah sirna? Adakah kejahatan, pemaksaan dan penguasaan orang- orang kafir telah sirna(hilang) dan semua agama itu semata-mata untuk Allah?

Maka bukan dipandang dari segi fardu 'ainnya jihad yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dan bukan pula dari segi fardu kifayahnya, sejumlah kaum muslimin telah lupa/malas/enggan berjihad sehingga mencapai kejayaan dan kekuasaan yang sangat minim (kecil) bagi kaum muslimin, yaitu berpuluh puluh tahun mereka tetap berada dalam kerendahan, kehinaan, dan dibawah pemaksaan musuh serta dalam keadaan tertindas.

"Maka kemanakah kalian hendak pergi? Al-Qur'an itu tiada lain sebagai peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus."

Dan sekiranya dalam kondisi gelap gulita yang mengancam umat secara individu dan kelompok ini, hukum jihad tidak menjadi fardu 'ain, maka bilakah tujuan itu akan dapat tercapai? Adakah ia akan wujud seperti hidangan yang turun dari langit, yang pada hidangan itu ada mangkok Khilafah yang berisi ketentraman dan pertolongan rabbmu, serta berisi kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin lainnya? Ataukah sekiranya hidangan yang turun itu terlambat, hukum jihad akan menjadi fardu 'ain setelah musuh merampas negeri kaum muslimin, dan setelah perlengkapan untuk memikul agama ini sempurna? Padahal kita tahu bahwa Allah itu Maha Benar lagi Maha Menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.

Manakah toifah yang berperang untuk membela Dien ini, yang tidak akan dimudaratkan oleh orang yang menyalahinya dan oleh orang yang meremehkannya?

Manakah Rub'i bin Amir yang mengatakan :
"Allahlah yang telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia menuju penghambaan terhadap rabb seluruh manusia, dari kezhaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat."

Manakah fuqaraul Muhajirin yang (mereka telah diusir dari kampung halaman dan harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan karena menolong Allah dn Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yagn benar)?

Dan diantara ujian buruk dan lucu, ada seorang syaikh yang terhormat ditanya oleh salah seorang muridnya dalam keadaan kerhormatan kaum muslimin tengah dirusak dan bumi mereka tengah dirampas. Murid itu bertanya tentang kewajiban Jihad, kemudian ia menjawab: "Fardu Kifayah." Kemudian ia melanjutkan pertanyaan :"Bilakah Jihad menjadi Fardu 'ain?" Ia menjawab:"Ketika musuh memasuki negeri kita."

Maka salah seorang syaikh mujahid memberikan komentar dengan mengatakan : "Maha suci Rabbku, adakah ayat-ayat yang diturunkan tentang Jihad dan tentang mempertahankan bumi kaum muslimin dengan menetapkan hanya sebidang tanah ini? Bukan bumi Allah yang luas?"

Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan: "Mungkin syaikh kita ini belum membaca apa yang dikatakan oelh Ibnu Taimiyyah tentang itu."
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
"Apabila musuh telah memasuki negeri-negeri Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa mempertahankannya adalah wajib atas orang-orang yang paling dekat, kemudian atas orang-orang yang terdekat berikutnya. karena pada hakikatnya kedudukan seluruh negeri-negeri Islam itu adalah satu negeri. Dan sesungguhnya berangkat ke negeri tersebut adalah wajib hukumnya, tanpa perlu izin orang tua dan orang yang berpiutang. Dan nash-nash dari Imam Ahmad dalam hal ini sangat jelas.

Dan diantara perkara yang menambah sakit dan kerugian seseorang itu jika dia tidak pernah mengetahui keadaan kaum muslimin, kehinaan mereka, dan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak dan kehormatan mereka baik dibarat maupun di timur. Itu adalah musibat, karena sesungguhnya orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin tidak mungkin dia akan termasuk dalam golongan kaum muslimin. Dan sekiranya kamu mengetahui tapi tetap berdiam diri maka musibat itu jauh lebih besar lagi.

Kesimpulannya : Mesti diketahui bahwa yang dimaksud dengan fardu kifayah yang jika dilaksanakan oleh sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, keadaan kelompok tersebut haruslah memadai untuk melaksanakannya sehingga gugur kewajiban bagi yang lain. Dan bukanlah yang dimaksud hanya sekelompok saja yang tampil/turun melaksanakannya tetapi tidak memadai(mencukupi).

Oleh itu tidak benar pengguguran kewajiban jihad dari semua kaum muslimin dengan tampilnya sekelompok pelaksana pada sebagian bumi walaupun ia mencukupi ditempat tersebut, sedangkan pada bagian-bagian bumi lainnya panji kekufuran tegak dengan megahnya. Maka kaum muslimin yang berdekatan dengan kawasan-kawasan tersebut wajib berjihad menghadapi orang-orang kafir itu sehingga dapat menguasai mereka. Dan demikianlah seterusnya hingga tercapai keadaan yang mencukupi (memadai)

Di dalam hasyiyah Ibnu Abidin, ia berkata : janganlah kalian menyangka bahwa kewajiban jihad itu akan gugur dari penduduk India dengan sebab jihad itu dilaksanakan oleh penduduk Rum, misalnya. Bahkan sebenarnya jihad itu wajib atas orang yang terdekat kepda musuh, kemudian atas orang yang terdekat berikutnya sehingga terjadilah keadaaan yang memadai. Maka sekiranya keadaan yang memadai itu tidak dapat wujud melainkan mesti dengan mengerahkan semua kaum muslimin, maka jihad menjadi fardu 'ain seperti sholat dan puasa.

Orang yang memperhatikan keadaan kaum muslimin dan orang-orang kafir pada zaman sekarang ini tentu ia akan mendapatkan bahwa jihad adalah fardu 'ain atas setiap muslim yang mampu, bukan fardu kifayah.

Ini disebabkan karena sebagian kelompok kaum muslimin yang melaksanakan jihad menghadapai orang-orang kafir dibeberapa tempat, mereka tidak memadai utnuk mencukupi keperluan di tempat-tempat lainya yang di situ musuh tengah menyerbu kaum muslimin ditengah-tengah kampung halaman mereka sendiri, sementara ditempat itu tidak ada kelompok yang bangkit melaksanakan kewajiban jihad untuk menghadapinya.
Demikianlah jihad adalah jalan menuju kemuliaan di dunia dan di akhirat yang berbalas Ampunan Allah, surga Adn, Pertolongan dan Kemenangan. Wallahu a’lam bishawaab.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Mujahid yang Berjuang Fi Sabilillah atas nama Al Haq, karena Mujahid Sejati bukan menebar Terror [part1]”

Post a Comment

Silakan memberi komentar di sini, No SARA buat komentarnya

 

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Fresh Template by NdyTeeN.